Twitter Facebook Youtube Instagram

Inspira Pustaka Aksara

Make Your Books, Make Your History

Sal
Inspira
Inspira Pustaka Aksara 5547 Views

Destinasi Meraih Mimpi Tanpa Batas

Penulis: Nina Nurrahmah (Wakatobi)

Mimpi adalah destinasi progresif yang berkenyataan. Ia cukup sakti menuntunku dalam meraih apa yang kuperoleh saat ini. Telah banyak cerita orang sukses yang kubaca yang mengawali impiannya dari mimpi-mimpi besar. Dan akal, dikaruniakan Tuhan bukan saja sebagai alat berpikir, tapi juga untuk bermimpi, termasuk menerawang masa depan.

Sejak kecil, aku dibesarkan dalam lingkungan keluarga petani dan nelayan yang tak bisa baca-tulis. Namun demikian, aku tidak luput ditumbuhkembangkan dengan penuh kasih, dan juga nasihat-nasihat yang sangat berharga. Ibuku memang tak bisa mengajariku bagaimana caranya menulis dan membaca  yang baik, tapi Ibuku tahu caranya bagaimana mendidik yang baik melalui lisannya. Hingga, tak ada hari, antara aku dan Ibuku, terpisah oleh bab-bab cerita rakyat. Dongenglah yang membuka imajinasiku, merangsang daya nalarku untuk berimajinasi dan berpikir. Cerita-cerita rakyat yang diajarkan Ibuku secara lisan itu, menjadikan dirinya sebagai guru hebat tak bergelar yang pernah kupunya hingga saat ini.

Selain itu, kendati Ibu dan Ayahku tak mengenyam pendidikan. Dalam doa dan lubuk hati mereka, aku diinginkan untuk mengenyam pendidikan yang lebih baik, agar aku bisa merasakan dunia yang berbeda dari apa yang mereka rasakan saat ini. Karena ini, aku hanya diperkenankan belajar sebentar di tanah kelahiranku Nggele, Maluku Utara yang terbatas fasilitas pendidikannya. Lalu aku dibawanya ke Kampung halamannya di Wakatobi untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi.

Di Wakatobi, aku bertemu dengan sahabat-sahabat baru yang cukup progressif dalam belajar. Di sini, aku terus bertumbuh dalam atmosfir pendidikan yang cukup baik ketimbang di Maluku Utara. Pada atmosfir daerah berpendidikan yang kujalani sejak SD, SMP, dan SMA di Wakatobi, merangsang aku untuk terus melangkah, tanpa takut pada batas-batas ekonomi yang kerap kali menjadi alasan kebanyakan anak nelayan untuk tidak melanjutkan pendidikan tinggi. Kemampuan finansial orang tua yang tak memungkinkan memang kerap kali menjadi pembenaran bagi siapa saja untuk berhenti dan menyerah meraih mimpi untuk berpendidikan, melewati destinasi baru dalam hidup. Namun, pada mereka yang punya mimpi yang tinggi, terdapat asa, terpatri harapan, dan terlihat masa depan yang penuh jalan-jalan untuk menggapainya.

Pada keyakinan itulah, aku meyakinkan Ayah dan Ibuku untuk menjalani pendidikan tinggi. Meski dengan suara enggan, mereka katakan bahwa kondisi finansial keluargaku cukup tidak memungkinkan. Namun aku  cukup dewasa memahami itu dari raut wajah kedua orang tuaku, sekalipun tak diucapkan. Geliat teman-teman sebayaku yang mulai berangkat meninggalkan Kampung setelah kelulusan untuk belajar di beberapa kota seperti Kendari, Makassar, Manado hingga ke ibu kota, Jakarta. Membuat aku juga berkeberanian untuk merantau.

Aku meminta doa dari kedua orang tuaku untuk diperkenankan berangkat. Aku mengatakan dengan rasa yang enggan, karena aku mengerti. Jika aku meminta keduanya untuk membiayaiku kuliah, maka mereka akan semakin terbebani dalam usianya yang semakin menua. Hanya doa dan restu yang kuminta. Sebab aku telah bertumbuh dewasa dan sudah bisa bekerja jika benar-benar kehidupan di perantauan itu cukup keras. Aku sama sekali tidak takut, aku sama sekali tidak punya rasa gentar meninggalkan Kampung, dengan mengandalkan modal keberanian dan nekat atas mimpi yang ingin kuraih seperti orang lain yang pulang setelah belajar.

Waktu berjalan begitu cepat. Tibalah hari, dimana semua calon mahasiswa berangkat berombongan meninggalkan kampung halaman menuju kota yang berbeda-beda. Aku yang belum pernah merantau seorang diri ke kota lain membuatku sedikit ragu untuk bisa bertahan hidup di kota. Namun, raut wajah senang yang kulihat dari wajah Ibu dan Ayahku, memberiku semangat baru seakan ada karpet merah, jalan yang penuh restu dari ketulusan doa-doa Ibu untuk anak kesayangannya.

Benar saja. Setelah aku beberapa bulan di perantauan, kota Makassar. Doa-doa Ibuku diijabah oleh Allah SWT. Aku bukan saja mendapatkan teman baru yang baik, tapi juga diterima masuk di perguruan tinggi ternama di Kota Makassar—Universitas Hasanuddin. Aku cukup terharu dengan apa yang kuraih, hingga menetes air mataku, mengingat setiap waktu yang kuperjuangkan seorang diri untuk melewati seleksi masuk perguruan tinggi ini. Kini yang terpikirkan di benakku adalah mempertahankan dan menyelesaikan yang kupilih, agar tidak berhenti di tengah jalan sebab biaya dan membuat kedua orang tuaku merasa gagal untuk itu.

Alhamdulillah, Tuhan selalu memenuhi janjinya untuk mencukupkan mereka yang mencari ilmu dan para Fisabilillah. Allah tunjukkan aku jalan baru untuk  menjadi bagian dari pelayan rumahNYA—Masjid. Aku dipertemukan dengan pengurus Masjid di sekitar Universitas Hasanuddin (UNHAS) dan dikehendaki untuk tinggal di perumahan Masjid yang berlantai 2, yang disediakan khusus untuk para pengurus dan fisabilillah. Hingga aku tak perlu membayar kos-kosan selama 1 tahun di Makassar. Tugas hari-hariku di tahun petama, adalah menjaga waktu shalat 5 kali sehari, memutar shalawat, membersihkan Masjid dan mengumandangkan Adzan.

Di tahun berikutnya, dengan modal IPK 3.98, aku diterima sebagai Beasiswan PT. BCA Finance dan membiayai penuh pendidikanku selama 4 tahun masa studi. Sehingga SPP yang sudah kubayarkan 1 tahun sebelumnya dikembalikan pula oleh PT. BCA Finance ke rekening pribadiku. Ditambah lagi dengan Beasiswa Prestasi yang kuterima setiap triwulan dari Universitas Hasanuddin karena prestasiku dalam berbagai lomba internal maupun nasional.

Alhamdulillah, dengan kebebasan finansial yang cukup, pikiranku cukup terbuka, untuk mengucapkan terima kasihku pada Almamater dengan menununjukkan prestasi yang lebih baik lagi untuk Universitas Hasanuddin. Aku mulai menyemplungkan diri dalam dunia organisasi keilmuan dan penalaran ilmiah, seperti UKM-Keilmuan dan Penalaran Ilmiah juga HMI—Cabang Makassar. Di sini aku dilatih dan di didik menulis, serta berpikir yang logis dan kritis. Melihat dunia dengan penuh ide dan tanpa sekat-sekat yang membatasi pemikiranku lagi.

Lalu, aku mulai berpartisipasi dalam berbagai lomba dan berusaha mendapatkan pendanaan kegiatan kemahasiswaan yang disebut PKM (Program Kreativitas Mahasiswa) bidang Karya Cipta. Dan Alhamdulillah, proposalku lolos setelah melalui seleksi nasional yang cukup tinggi untuk menciptakan Inovasi Mesin Perontok Duri Landak Laut yang kunamai SURITECH—akronim dari Sea Urchin Technology. Alhasil, dengan perjalananku menulis soal Landak Laut (bulu babi), berbagai media internal kampus dan majalah kenamaan di Kota Makassar meliput inovasi yang kami tawarkan kepada nelayan tentang cara memanfaatkan Landak Laut.

Selain itu, aku juga sibuk dan aktif mengikuti lomba kompetisi karya tulis ilmiah. Dan alhamdulillah, selalu pulang membawa juara, minimal juara di tingkat nasional. Dan yang paling berkesan adalah berkat Landak Laut  yang aku geluti sebagai bidang keahlianku. Ia, telah membawaku ke mana-mana. Bukan saja keliling ke kota-kota besar di Indonesia, tapi juga sempat mewakili Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menjadi salah satu pemuda dunia "ONE Young World" di Pittssburgh, Amerika Serikat untuk menceritakan gagasan dan perontok duri landak laut yang aku ciptakan.

Disaat yang sama, di Universitas Hasanuddin, aku bertemu dengan Profesor-Profesor hebat yang membimbingku dengan cukup baik. Dan dari merekalah aku belajar, aku menunggu dan meniru, dari mereka pula aku belajar melihat masa depan dan langkah-langkah baru untuk menjadi seperti mereka melalui mimpi jilid baru, yang kunamai mimpi jilid 2, yaitu mimpi untuk menjalani pendidikan tingkat S-2. Jenjang yang tidak pernah terbayang olehku untuk kulalui. Namun karena besarnya pengharapan guru-guruku dan Prof. Pembimbingku, maka terpatrilah dalam hatiku untuk tidak mengatakan tidak, pada tawaran S-2 yang ada di depan mata melalui Beasiswa LPDP, Kementrian Keuangan ke Negeri Sakura.

Alhamdulillah, di jalan pendidikan yang kupilih, bukan saja kutemukan diriku yang mencintai ilmu dan sains untuk kemajuan peradaban manusia. Tetapi, juga kutemukan seorang istri sang pelengkap kehidupanku. Dan sebagai penutup, aku ingin mengatakan bahwa dalam kebersamaan, ada suara yang tak bisa disembunyikan dalam sepi. Dalam harapan yang penuh optimis, ada tenaga yang kuat untuk mewujudkannya, dan dalam kehidupan, butuh bumbu, dan sebaik-baik bumbu kehidupan yang sangat dinamis dan penuh dimanika adalah pendidikan.

Selamat bermimpi, Mimpi itu nyata!

***

Nina Nurrahmah, gadis kelahiran Wakatobi, sang penggiat literasi dan pejuang mimpi. Ketekunannya menulis telah mengantarkannya menerbitkan buku Tentang Aku, Kamu dan Hijrahku, dan buku-buku antologi seperti Welcome To Becoming Writer, Di Balik Usia dan Surat Untuk Kaki Langit Palestina.