Inspira Pustaka Aksara
Make Your Books, Make Your History
Make Your Books, Make Your History
Penulis: Annisa Noor Rachmawati (Sukoharjo)
Orang bilang Indonesia negeri berjuta budaya, berjuta pesona, dan berjuta makna bagi setiap pasang mata. Indonesia mematri setiap insan di dalamnya dengan budaya serta adat nan luhur yang melekat di setiap aliran darah, berdenyut dalam nadi, dan menyatu dalam jiwa sejak nenek moyang ada.
Namun demikian, aku belum mampu merasakan ruh budaya itu di dadaku. Aku tidak tahu hal apa yang terjadi padaku. Sebenarnya aku dilahirkan di dalam keluarga yang kental dan patuh dengan adat Jawa. Ayahku seorang guru bahasa Jawa sekaligus pembawa acara di berbagai upacara adat Jawa. Ibuku adalah seorang guru yang mengajar di sebuah sekolah yang terletak di perkampungan yang sangat kental dengan budaya Jawa.
Begitu pula dengan kakek dan nenekku yang masih menjadi kerabat Keraton Surakarta. Hari-hariku dahulu seperti remaja pada umumnya, menimba ilmu di sekolah negeri hampir setiap hari. Aku sangat menikmati aktivitasku itu. Namun demikian, saat aku bertemu dengan pelajaran bahasa Jawa aku tidak menyukainya dan tidak mau belajar mengenai hal itu. Di rumah aku berkutat dengan adat Jawa, di sekolah pun tak jauh berbeda. Aku tidak mau, cukuplah di rumah saja aku berhubungan dengan adat itu. Namun demikian, apalah dayaku yang harus melaksanakan pendidikan itu. Aku pun tak tahu mengapa aku bisa bersikap seperti ini. Seolah-olah aku tak mampu menghargai budayaku sendiri. Aku tak pantas berdiri di sini.
Suatu hari, berkat karya tulisanku mengenai sejarah Keraton Kartasura aku menjadi delegasi dari sekolahku untuk mengikuti field trip di beberapa pusat kebudayaan Jawa selama 5 hari terturut-turut. Aku sangat bahagia diberikan kesempatan itu. Namun demikian, aku mulai berpikir ulang. Sanggupkah aku melakukan itu? Bila aku ikut, tentu aku akan lebih dekat lagi dengan budaya Jawa. Dimanapun dan kapanpun saat acara itu berlangsung aku tak akan bisa lepas dari adat dan budaya Jawa. Lebih dari kentalnya adat Jawa yang dilaksanakan di rumah. Mampukah aku? Aku yang tidak tahu, bahkan bisa dibilang tidak mau tahu dengan budaya akan melalui acara itu. Setelah aku renungkan, aku tersadar bahwa kesempatan tak akan menghampiri seseorang untuk kedua kalinya. Akhirnya aku membulatkan tekad untuk mengikuti acara itu.
Hari pertama, aku berkunjung ke kawasan Lembah Para Dewa. Aku beserta rombongan dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah mengunjungi Candi Prambanan, Candi Sewu, Candi Kalasan, Candi Plaosan Lor, dan Candi Plaosan Kidul. Aku merasa sangat senang, melihat maha karya nenek moyang yang sangat luar biasa. Cerita-cerita yang mengandung pesan moral yang mendalam, nilai-nilai kehidupan, serta sejarah yang menakjubkan tergambar indah pada relief di setiap dinding candi. Berawal dari sinilah pikiranku mulai terbuka dan mulai menyadari eksotisme budaya yang ada di Jawa.
Keesokan harinya aku beserta rombongan mengunjungi Museum Manusia Purba Sangiran. Di sana aku memahami betapa kompleksnya peradaban manusia. Berkembang mulai dari peradaban yang sangat sederhana hingga peradaban maju seperti sekarang. Aku memahami bahwa setiap jengkal tanah ini memilki arti. Setiap udara yang berhembus menjadi saksi bahwa peradaban dan kebudayaan yang ada di bumi ini tidak terjadi begitu saja dengan mudah. Melainkan penuh dengan perjuangan dan jerih payah.
Hari ketiga kami mendatangi ke Beteng Vredeburg, Yogyakarta. Benteng tersebut sangat megah dan berdiri kokoh di tengah kota yang indah. Sebuah saksi bisu perjuangan bangsa untuk mempertahankan wilayah sekaligus budaya yang telah mereka bina. Di tempat itu pula aku disuguhkan sebuah film dokumenter perjuangan rakyat Yogyakarta dalam melawan kolonial di tengah adat yang harus tetap mereka jaga. Di saat itu pula aku tak menyadari bahwa air mataku mengalir seiring dengan lantunan gending Jawa yang menutup film tersebut. Sedih rasanya hatiku, ketika aku berkaca pada diriku sendiri yang seolah tak mau peduli dengan budayaku yang agung ini.
Kemudian, di hari keempat aku beserta rombongan diantarkan ke sebuah museum yang sangat mengagumkan yaitu Museum Keris. Museum dengan bangunan megah yang bersih dan berarsitektur indah yang berdiri di tengah hiruk pikuk Kota Surakarta. Ketika aku dan rombongan dikumpulkan di teras museum. Mataku tak henti-hentinya menatap setiap sudut bangunan itu. Sungguh aku sangat mengaguminya.
Di tempat itu aku dan rombongan diberikan penjelasan singkat mengenai alasan berdirinya museum tersebut. Sepanjang penjelasan tersebut aku sangat tertarik dan sangat antusias untuk lebih mempelajarinya lagi. Pikiranku pun terpaku pada sebuah kalimat yang dikatakan oleh pemandu wisata di sana. Ia berkata bahwa Museum Keris tersebut berdiri bukan untuk melestarikan dan mempromosikan budaya Jawa saja, melainkan untuk melindungi keagungan budaya Indonesia serta menjaga warisan indah kebudayaan Jawa yang diturunkan oleh pendahulu kita yang telah berjuang dengan jiwa dan raga seutuhnya.
Raga dan pikiran ini seolah tak mampu lagi membendung rasa penasaran yang ada. Apa yang ada di dalam Museum Keris ini? Apa istimewanya sebuah keris yang hanya digunakan untuk aksesoris busana adat? Tak terasa tibalah saatnya aku memasuki bangunan megah ini. Di ruangan pertama aku masih biasa saja. Yang ada di sisi ruangan itu hanyalah rentetan penjelasan yang tertempel di dinding mengenai keris. Namun demikian, tak kusangka di bagian sisi lain ruangan ada diorama pembuatan keris yang ternyata sangatlah rumit dan penuh dengan nilai-nilai budaya serta kehidupan. Aku dibuatnya terpesona. Dengan diorama yang seolah menarikku untuk masuk ke dalamnya. Kemudian, aku berserta rombongan menyusuri ruangan lain. Di ruang itu kami disuguhkan keris yang sangat banyak dan beragam. Keris-keris itu berkilauan di dalam ruang kaca yang tersinari cahaya. Keindahan pamor (motif keris) yang terbentuk dari tempaan logam terbaik serta usaha seorang empu yang tanpa mengenal lelah membuat keris-keris itu semakin mempesona.
Selanjutnya kami menuju sisi ruangan yang berisi patung-patung dengan busana adat Jawa. Aku tak tahu apa fungsi patung itu yang sebenarnya. Apakah hanya untuk mengenalkan bahwa yang dikenakan adalah busana adat Jawa atau adakah tujuan lainnya? Ternyata di sana kami dijelaskan bagaimana cara mengenakan keris yang sebenarnya sesuai dengan upacara adat yang berlangsung.
Perbedaan cara pemakaian keris itu ternyata melambangkan betapa sopannya orang Jawa. Pemakaian keris untuk menghadap sunan, pergi ke acara pernikahan, pergi untuk berperang, dan lain sebagainya sangatlah berbeda. Di sana pula kami dipersilakan untuk menyentuh sebuah keris yang sangat indah. Namun, ternyata tidak sembarang orang boleh memegangnya. Orang yang suci dari haid dan nifaslah yang boleh menyentuhnya. Pikiranku pun seketika melayang. Ternyata seistimewa inikah senjata tradisional budayaku. Pemandu wisata itu juga memberi tahu bahwa Presiden kita Joko Widodo juga memiliki keris yang sangat indah dan istimewa yang disimpan di museum itu pula.
Sepanjang perjalanan itu, aku dan rombongan dijelaskan makna tersirat dari sebuah keris serta bagaimana indahnya budaya Jawa dalam kehidupan. Sungguh, mulai dari sinilah aku bertanya pada diriku sendiri. Betapa bodohnya aku yang mencampakkan budaya dan adatku yang sangat luar biasa ini. Aku tersadar bahwa budaya dan adat itu tidaklah sebagai penjara yang membatasi gerak langkah kita. Namun sebaliknya, budaya dan adat melengkapi kehidupan di tanah air tercinta yang menghiasi berbagai lini kehidupan serta menampakkan dirinya sebagai eksotisme Indonesia. Aku memang orang Jawa dan aku sangat bangga dengan itu.
Saat ini memang aku sudah meninggalkan tanah kelahiranku untuk menuntut ilmu. Karena hal itu pula terbangunlah kepercayaan dalam diriku bahwa di ibu pertiwi ini ada ratusan budaya lain yang sama eksotisnya dengan budayaku. Aku juga percaya bahwa keragaman eksotisme budaya di Indonesia adalah harta yang tak ternilai harganya.
***
Namaku Annisa Noor Rachmawati. Aku lahir di Sukoharjo, Jawa Tengah pada tanggal 13 Oktober 1999. Saat ini aku menuntut ilmu di Institut Pertanian Bogor Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan angkatan 55.
Sumber foto:google.com