Inspira Pustaka Aksara
Make your own history
Make your own history
Penulis: Feyi Jung (Malang)
Dimanakah rumah?
J; nama gadis itu. Ia pernah berujar bahwa akan mengelilingi dunia, untuk mencari rumah. Mencari pulang. Bukan sekedar tempat singgah. Bukan sekedar gubuk yang hadir untuk ditiduri. J ingin rumah, untuk beristirahat di penghujung hari ketika ia lelah menghadapi takdir. Tempatnya bernaung ketika tidak sanggup lagi menentang dunia.
J mencari, dimanakah rumah?
Dimanakah ia harus tinggal dan melepas lelah?
Sore itu hujan, tepat ketika pesawat yang ditumpangi J telah membumi. Mungkin hujan sore itu ingin menyambut kedatangan J, yang sengaja membawa getir kerinduan tanpa tuan di hatinya. Setiap tahun; J akan kembali kesana, kota Malang, tepat di pertengahan Desember hingga tahun baru menjelang.
J bilang kota ini penuh kenangan, yang tidak terhapus oleh waktu, sekalipun raganya melalang buana mengelilingi dunia. J tidak lahir disini, namun ia dibesarkan di kota ini. Kota dingin, sama seperti bagaimana kota itu mengasuh J yang kini tumbuh dengan hati sedingin malam-malam hujan.
J akan selalu kembali kemari; bersama dengan hujan yang menghiasi penghujung tahun dan hawa dingin yang menggerogoti kulit. Sebab J mencari jawaban, atas rindu tak bertuan yang mengisi kekosongan hatinya.
J masih mencari dimanakah rumah tempat ia akan melepas lelah.
.
.
Rumah peninggalan orangtua J masih berdiri kokoh, terawat. Berada di pinggiran kota, yang tenang dan dingin ketika malam menjelang. Disinilah, J akan menghabisi senja dengan bermonolog. Sembari ditemani satu cangkir kopi dalam pelukan.
Baginya, rumah ini hanyalah sekedar bangunan. Bukan pula rumah untuk tempatnya pulang di penghujung hari. Terlebih ketika kedua orangtuanya saling melepas diri, rumah bukanlah sebuah tempat penuh kehangatan untuk bersinggah di rongga kehidupan.
“Aku tidak mengerti mengapa engkau selalu kembali,” ujar salah seorang kawan yang merangkap menjadi tetangga. Ia akan selalu singgah, ketika J kembali disana. Berceerita. Dan mendengarkan J yang menangis dalam monolognya.
“Sebab aku mencari rumah,”
Kawannya tersenyum jenaka, “disinilah rumahmu. Sebab itu kau pulang setiap tahun,”
Tapi J, dengan pendiriannya, meggeleng. Meletakkan cangkir kopi yang mulai mendingin, lalu netranya mengeja jauh ke awang-awang. Ada getir kerinduan disana, membaur dengan kelimut kehidupan keras yang mengajak gadis itu berlari.
“Aku selalu kembali sebab masih memprtanyakan diri,” J mengucap dengan getir. “Mengapa rumah yang kutinggali terasa tidak menghapus pulang yang ingin kucari,”
.
.
Mereka bilang J hanya membuang waktu untuk kembali. Bahkan harusnya bangunan itu dijual, agar dapat dimanfaatkan. Tapi J menolak, sebab ia masih menunggu. Sebab ia masih sering berharap dengan kembali ia akan menemukan esensi rumah yang ia cari.
J berharap akan menemukan kehangatan keluarganya kembali.
Dan harapan-harapan itu membumbung terlalu tinggi, tersapu awan dan tumpah ruah menjadi hujan dingin. J menemukan rindu, terlalu menggebu namun tidak tahu kepada siapa rindu itu akan jatuh.
“J tidak lelah?”
Sore itu ditebus J dengan berjalan-jalan seharian. Mengelilingi Malang. Bersama kawannya. Dan menikmati bagaimana waktu dengan cepat beranjak, mengubah sudut-sudut kota menjadi keterasingan yang familiar.
J menggeleng, netranya memandang jauh ke arah langit yang mulai membocorkan hujan kembali. Sehingga ia dan kawannya harus berteduh, menepi. Menghirup aroma khas hujan yang menghantam bumi.
“J selalu kemari setiap tahun, melakukan banyak kegiatan yang sama berulang-ulang.”
“Sebab hal seperti ini tidak kutemui disana,”
“J pulang hanya untuk seperti ini? Mengapa tidak tinggal lebih lama?”
J menggeleng. “Kuteruskan langkahku mencari rumah untukku pulang, cukup bagiku singgah sebentar. Bila tidak kutemukan jawaban, bukankah sebaiknya aku harus beranjak kembali.”
Mungkin tidak seorangpun mengerti. Mungkin kawannya pun tidak mengerti. Ada rindu yang berlari bersama waktu, perlahan menarik sembilu begitu dalam, sebab J nyatanya tidak menemukan jawaban.
“Aku tidak mengerti J, mengapa kau selalu mencari rumah padahal ada rumah tempat kau singgah, padahal disana pun kau memiliki rumah. Apalagi yang kau cari?”
“Entah,” hela nafas J terdengar panjang. “Aku juga tidak mengerti, mungkin sama halnya seperti mengapa ikan tidak mengerti bagaimana rasanya terbang.”
.
.
Hari itu hujan, sejak pagi. Hingga ada kabut tipis yang mengiringi, serta suhu udara yang mendadak turun. J masih bergelung dalam selimutnya, membayangkan kehangatan sebuah keluarga yang selalu menjadi mimpinya. Sebenarnya J selalu mempertanyakan diri, mengapa ia selalu kembali ke kota ini.
Mungkinkah musim hujannya?
Atau mungkinkah kota Malang telah menjadi rumah kedua yang membesarkan J dan mengendap dalam memorinya.
Sebersit ingatan menggulung terlalu dalam, hingga J terpaksa menarik diri menggelung dalam pelukan. Dadanya sesak, begitu berat untuk bernafas sedang perasaan memberontak ingin dilepaskan.
J ingat, ketika ibunya tidak pernah lagi pulang ke rumah. Hingga menyisakan amarah sang ayah. Kekecewaan serta penghianatan itu berlari merangkul J; hingga ia memutuskan untuk berjalan sendiri tanpa harus berbagi lagi.
Mereka bilang waktu akan menyembuhkan trauma itu, menutup luka yang J miliki—namun J bilang itu sia-sia, waktu tidak menyembuhkan apapun. Termasuk kerinduannya kepada rumah. Rumah tempatnya beristirahat dan menemukan pulang.
“Rumah adalah tempat kembali, tempat berlindung di penghujung hari. Bukan tempat dimana aku diikat lalu dikorbankan atas nama keluarga,”
J mengatakannya dengan tersedu.
“Aku pulang, aku pergi dan yang kulakukan hanya mencari. Dimana pulang yang kurindukan selama ini, dimana rumah yang ingin benar-benar kutinggali. Aku—aku, tidak memiliki siapapun di penghujung hari. Tidak memiliki satu tempatpun untuk bersandar, dan bernaung ketika aku lelah melawan takdir.”
Ada kata tersendat di ujung lidah kawannya, J menangis seperti anak kecil yang balonnya terenggut. Bagaimana gejolak emosi itu meluap ke permukaan, menjadikan air mata sedingin es yang dipendam gais itu keluar secara berantakan.
“Mungkin pulang yang kau cari adalah sebuah keluarga,” J enggan mengakui, namun entah mengapa hatinya terasa sakit untuk berlari lagi.
“Mungkin memang rumah yang kau rindukan adalah sebuah keluarga.”
.
.
Hari itu hujan lagi; tapi J memang bersiap untuk pergi. Dengan kekecewaan dan kehampaan yang membelenggu, J mengakui. Bahwa rumah yang ia cari adalah keluarga, sebab itu mengapa ia selalu kembali. Sebab itu mengapa kala hari hujan ia selalu menanti, berharap bahwa suatu ketika ibunya akan lewat bersama hari hujan dan keluarganya utuh kembali.
Sebab sang ibu mencintai hujan di kota Malang; hari dimana ibunya beranjak dari rumah adalah hari dimana hujan tengah mengguyur degan derasnya. Lalu J dapat melihat ada hujan lain di penghujung mata sang ayah.
Jadi hari itu J memutuskan pergi lagi; ia masih akan mencari. Hingga menemukan sekeping keluarga yang menjadi tuan rindunya. Yang menjadi pulangnya di penghujung hari. Namun kali ini, sorot kilau lambu dari seberang arah begitu menyilaukan. Hingga mobil yang ditumpangi J menghantam begitu keras, dan J tidak mengerti apa-apa lagi.
Mungkin hari itu, J menemukan pulang yang selalu ia cari. Mungkin bukan kembali pada keluarga yang selalu ia rindu. Di hari hujan itu, J menemukan pulang kepada Illahi.
***
Feyi Jung adalah seorang mahasiswi institusi kesehatan yang mencintai hujan dan badai yang sedang menghayati menjadi garis horisontal dalam aksara. Baginya kopi, Bangtanboys dan Marvel adalah bumbu penyedap dalam kehidupan yang tidak sedap ini.